Kamis, 04 Februari 2010

AMAL DIDASARI KETAQWAAN

Oleh : Ustadz Ir. H. Achmad Syafi'i

Amalan orang beriman akan dinilai apabila diawali atau didasari dengan sebuah ketakwaaan. Disinilah sebabnya mengapa amalan orang kafir selalu tertolak sebab mereka sudah tak mengindahkan perintah dan laranga Alloh atau tidak ada ketaqwaan. Taqwa mereka tak terwujud didalam dirinya. Maka semua yang dia perbuat akan ditolak oleh Alloh SWT.

Dalam mendefinisikan taqwa semua para ulama berbeda pendapat, namun bermuara kepada satu makna. Yaitu : jika hamba takut pada marah Alloh (sukhtulloh) ta’ala dan ‘Azabihi azabnya serta ‘iqobihi hukumannya. Nah bagaimana dengan orang kafir, Mereka tidak takut kepada Alloh. Mereka melakukan semua yang dilarang Alloh SWT. Jadi definisi taqwa bagi orang kafir selalu terbalik. Lain bagi orang yang dibimbing petunjuk, selalu konsisten dalam definisi “imtitsali awamirillahi wajtinabu nawahihi” Melaksanakan semua perintah Alloh dan menjauhi semua laranganNya. Definisi seperti ini oleh orang-orang sufi selalu diledek, karena masih krecek. Dia masih kecil baru bisa menguap. Padahal Alloh tidak mengarahkan demikian karena setiap orang walaupun sekecil apapun yang dia lakukan dalam ketaqwaan maka Alloh akan selalu mengajarkan dan memberi ilmu kepadanya. “ Wattaqulloha wa yu’allimukumullohu". Bertakwalah kepada Alloh maka Alloh akan mengajari kalian. Alloh sebagai mursyidnya sebagai gurunya. Bahkan para ulama yang dibimbing Alloh mengatakan; jika seorang yang mengatakan :” ciri-ciri orang yang sediki taqwanya kepada Alloh adalah orang yang jika berbicara selalu memprioritaskan kata-kata "menurut saya”. Orang seperti ini,tak mendahulukan firman Alloh dan nabinya. Mereka tahkimul akl qablannushus mendahulukan akal daripada nash-nash. Bagaimana Alloh akan memberikan cahaya bagi jalan hidupnya, bagaiman mereka mendapatkan bagian kesejahteraan di dunia dan akhirat, bagaiaman mungkin dia mendapatkan cahaya dari Alloh dan bahkan bisa berjalan di atas cahaya Alloh. Berbeda dengan para sahabat dulu, mereka tidak pernah mengatakan "menurut saya", akan tetapi setiap mengutarakan sesuatu selalu dilandasi dengan "menurut firman Alloh" atau "sesuai sabda Rosululloh".

Sekelah Imam Syafii saja ketika melihat betis yang tersingkap tak sengaja di perjalanan sebagai sebuah maksiat, maka dia mengadu kepada Imam Waqii; "Syakautu ila Waqi’I su’al hifzhi, faarsyadani ila tarkil ma’ashi, wa ‘allamani bi annal ‘ilma nurulloh, wa nurullohi la yuhda lil’ashi “ (Aku mengadu kepada imam waqii tentang jeleknya hafalan, Maka Imam waqii memberi petunjuk untuk meninggalkan maksiat, dan mengajarkan kepadaku sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya Alloh, dan cahaya Alloh tak diberikan kepada orang yang bermaksiat). Bagaimana dengan kita?
Wallohu a'lam bish-showab.

(Arifie-Deden)

0 komentar:

Posting Komentar

 
close
marketing-mobil-wuling